Optimalisasi Tata Kelola Pemerintahan Melalui Analisis Data Ulasan Google Maps
Oleh: Muhammad Kaysa Fathun Naja (Universitas Sebelas Maret)
Memanfaatkan Sinyal Digital untuk Perencanaan Kebijakan Publik
Ada yang aneh di data Google Trends untuk Magelang sekitar akhir Agustus 2025. Tiba-tiba, pencarian kata 'demo magelang' naik tajam. Mungkin bukan apa-apa, tapi begitu dipikir ulang biasanya hal seperti ini adalah pertanda adanya suatu hal besar yang sedang terjadi, semacam buih di permukaan yang menandakan adanya ombak kuat di lautan. Ini menandakan dinamika warga yang terjadi begitu saja dengan cepat dan sayangnya, seringkali luput dari pantauan formal.
Sumber: Google Trends
Di sisi lain, jika kita buka dokumen resmi seperti RPJPD, ceritanya terasa sangat berbeda. Di sana tertulis target-target besar, seperti menaikkan Indeks Pelayanan Publik sampai ke angka sempurna. Tentu niatnya baik, dan di atas kertas semuanya tampak ideal. Tapi, potret yang rapi itu jadi terasa sedikit janggal jika disandingkan dengan sinyal-sinyal dari internet tadi. Jadi, mana cerita yang sebenarnya sedang terjadi di Kota Magelang?
Sumber: RPJPD Kota Magelang Tahun 2025-2045
Kesenjangan ini muncul karena cara mengukur kepuasan publik mungkin sudah sedikit ketinggalan zaman. Evaluasi formal butuh waktu dilakukan secara periodik dalam jangka waktu yang cukup lama. Padahal kegelisahan warga bisa memuncak dalam sewaktu-waktu. Lalu, angka-angka itu sendiri. Skor IPP yang tinggi memang bagus, tapi angka itu tidak bisa menjelaskan keluhan spesifik masyarakat terhadap layanan publik. Dan yang terpenting, suara-suara paling jujur justru seringkali tidak ikut terekam, suara itu adanya di kolom komentar Google Maps, tempat orang bisa bicara lepas tanpa filter.
Dari situlah ide tulisan ini muncul. Bagaimana jika kita berhenti sejenak melihat laporan formal dan mulai benar-benar mendengarkan ribuan percakapan digital ini? Ulasan-ulasan itu bukan sekadar keluhan acak, tapi data. Data yang bisa memberi kita cerita utuh untuk menangkap masalah lebih dini. Selain itu, untuk memastikan kebijakan yang dirancang di ruang rapat benar-benar berdampak signifikan untuk masyarakat di lapangan. Ini adalah upaya menyambungkan kedua cerita yang seperti berjalan sendiri-sendiri.
Membedah Suara Publik di Ruang Digital
Untuk bisa memahami ribuan komentar warga, tentu tidak bisa dibaca satu per satu. Maka dari itu, pendekatan yang dipilih di sini adalah mengubah semua obrolan kualitatif itu menjadi sesuatu yang bisa diukur dengan angka. Langkah pertamanya adalah dengan berburu datanya. 3.263 ulasan berhasil dikumpulkan dari 97 instansi pemerintahan di Kota Magelang yang ada di Google Maps. Data mentah itu isinya macam-macam, jadi perlu dirapikan dulu. Semua teks diubah jadi huruf kecil, komentar yang sama persis dibuang, kata-kata gaul diubah ke bentuk bakunya, sampai kata-kata umum yang tidak terlalu penting juga ikut disingkirkan. Tujuannya agar data yang tersisa benar-benar fokus pada inti komentarnya.
Setelah datanya bersih, langkah berikutnya adalah memilah-milah mana komentar yang isinya pujian atau keluhan. Caranya dengan menggunakan rating bintang sebagai patokannya. Bintang 4 atau 5 jelas masuk kategori positif, sementara bintang 1 atau 2 sudah pasti negatif. Bintang 3 ini yang abu-abu, jadi dianggap saja netral karena isinya seringkali tidak memihak. Setelah semua komentar punya label, barulah pekerjaan utama dimulai, yatitu melatih komputer untuk bisa berpikir seperti kita. Sebuah model dengan algoritma Naive-Bayes dipilih untuk tugas ini. Anggap saja kita memberinya ribuan contoh komentar positif dan negatif, lalu memintanya untuk mempelajari polanya sendiri. Tentu saja, mesin yang sudah dilatih tidak bisa langsung dipercaya begitu saja. Hasil kerjanya harus diuji lagi dengan data baru yang belum pernah dilihatnya untuk memastikan tebakannya akurat.
Menerjemahkan Angka Menjadi Wawasan
Setelah semua data terkumpul, kini saatnya kita bedah isinya. Ribuan komentar ini bisa dianggap sebagai rapor pelayanan publik Kota Magelang yang uniknya, diisi langsung oleh warga, mereka yang baru saja mengurus KTP, membayar pajak, atau berurusan dengan layanan lainnya. Karena itu, tujuannya di sini bukan sekadar melabeli puas atau tidak puas. Lebih dari itu, kita akan coba cari tahu apa saja yang sudah berjalan baik dan sebaliknya, apa yang sebenarnya menjadi sumber kekecewaan masyarakat.
Gambaran Umum Sentimen Berdasarkan Rating
Kalau dilihat sekilas dari rating bintangnya saja, gambaran umumnya terlihat cukup bagus. Dari lebih dari 3.263 ulasan yang ada, tepatnya 2.215 memberikan bintang lima. Ini semacam sinyal bahwa kebanyakan orang mungkin punya pengalaman positif. Namun, bukan berarti tidak ada masalah. Ada juga 578 yang memberikan bintang satu dan dua. Jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit dan kemungkinan berdampak signifikan. Jadi, bisa dibilang rapornya bagus, tapi ada beberapa nilai merah yang perlu dilihat lebih dekat.
Sumber: Google Maps
Distribusi Sentimen dari Ulasan Berupa Teks
Rating bintang itu cuma angka, ceritanya baru terlihat ketika kita baca komentarnya. Dari semua ulasan, ada 1.819 ulasan yang terdapat isi dalam bentuk teks. Nah, setelah dianalisis polanya ternyata masih mirip. Sekitar 58% isinya positif, yang artinya memang banyak yang puas. Tetapi, yang menarik perhatian adalah porsi keluhannya. Ada sekitar 26% ulasan yang isinya negatif. Angka ini cukup besar dan sepertinya menunjukkan jika ada masalah-masalah spesifik yang dialami banyak orang bukan cuma keluhan satu dua orang saja.
Sumber: Google Maps
Evaluasi Kinerja Model Klasifikasi Naive-Bayes
Tentu, untuk menganalisis ribuan teks ini, kita butuh bantuan mesin. Sebuah model Naive-Bayes disiapkan untuk memilah-milah sentimen secara otomatis. Hasilnya? Akurasinya sekitar 72%, angka yang cukup baik didapatkan dari model yang sudah dibuat. Tetapi, ada satu hal yang cukup krusial ketika kita membedah lebih dalam. Ternyata, model ini akurat sekali dalam mengenali pujian, hampir 98% ulasan positif bisa ditebak dengan benar. Masalahnya, dia kurang baik untuk urusan mendeteksi keluhan. Lebih dari 40% ulasan negatif gagal ia kenali, dan malah dianggap positif. Ini jujur saja menjadi catatan untuk evaluasi model lebih lanjut. Artinya, kita tidak bisa 100% percaya pada sistem otomatis ini karena banyak sekali kritik penting dari warga yang bisa-bisa terdengar tidak sesuai.
Tabel 1: Confusion Matrix Model Naive-Bayes
Analisis Topik Utama Berdasarkan Frekuensi Kata
Sekarang kita lihat kata-kata yang paling sering dibicarakan, ternyata 'layan' jadi juaranya. Ini seolah-olah menjadi konfirmasi jika ternyata ujung-ujungnya yang paling dirasakan warga terkait kualitas pelayanannya. Diperkuat lagi dengan seringnya muncul kata-kata pendukung seperti 'ramah', 'cepat', dan 'baik' yang biasanya jadi penanda pengalaman positif. Namun di sisi lain, ada juga pola keluhan yang cukup jelas. Misalnya, kata 'air' dan 'mati' yang menandakan adanya masalah mengenai penyediaan air bersih. Selain itu, kata 'antri' juga muncul dengan frekuensi yang tinggi. Ini menjadi petunjuk kuat jika urusan waktu tunggu masih menjadi PR di beberapa instansi pemerintahan Kota Magelang.
Sumber: Google Maps
Sekarang Apa?
Dari analisis sentimen terhadap ribuan ulasan publik kita dapat menyimpulkan bahwa meski masyarakat Kota Magelang memberikan penilaian positif terhadap layanan di instansi pemerintah. Namun, terdapat hal-hal yang penting untuk ditangani. Dua keluhan utama yang paling merusak pengalaman warga adalah gangguan layanan air bersih yang dan masalah manajemen antrean yang terjadi di instansi pemerintahan. Temuan ini juga menggarisbawahi risiko jika terlalu bergantung pada sistem monitoring konvensional dalam menangkap nuansa kritik. Hal ini menegaskan peran vital analisis ulasan digital sebagai pelengkap untuk memahami narasi di balik ketidakpuasan publik.
Gambar 1: Word Cloud
Penanganan Isu Layanan Air Bersih
Masalah "air mati" ini sepertinya sudah jadi keluhan yang cukup mendesak. Mungkin bisa dibentuk semacam tim respons cepat yang tidak hanya memperbaiki gangguan, tetapi juga lebih aktif memberi kabar ke publik jikalau ada masalah. Untuk jangka panjangnya, audit teknis jaringan pipa perlu dilakukan untuk mencari tahu kenapa masalah ini terus berulang, agar bisa menemukan solusi yang lebih baik.
Perbaikan Sistem Manajemen Antrean
Soal antrean yang panjang ini sebenarnya masalah klasik. Sebagai langkah awal yang cepat, mungkin bisa dievaluasi lagi alur layanan atau SOP terkait layanan yang sekarang. Hal ini bisa dilakukan untuk mengetahui proses yang sebenarnya bisa dipersingkat. Ke depannya, optimalisasi teknologi seperti sistem antrean online tentu jadi solusi ideal untuk mengurangi waktu tunggu, meskipun kita semua tahu bahwa butuh waktu lumayan untuk sosialisasi dan penerapan digitalisasi ini.
Penguatan Kualitas Layanan Publik
Melihat betapa masyarakat menghargai keramahan dan kecepatan pelayanan, penting untuk menjadikan dua hal ini sebagai standar pelayanan. Badan Kepegawaian (BKPSDM) bisa membuat modul pelatihan khusus yang fokus pada dua aspek ini. Targetnya bisa difokuskan ke ASN yang setiap hari bertemu langsung dengan warga. Harapannya sederhana, yaitu agar masyarakat bisa merasakan kualitas layanan yang sama baiknya, tidak peduli di instansi mana mereka sedang mengurus keperluan.
Monitoring Umpan Balik Digital
Tentu, analisis seperti ini jangan sampai jadi laporan yang dilupakan begitu saja. Ada peluang bagus di sini. Mungkin Bappeda, Diskominsta, dan BPS bisa duduk bersama untuk merancang semacam sistem pemantauan obrolan warga secara online. Sistem ini bisa memakai teknologi digital untuk melihat gambaran besarnya. Namun, dalam keberjalanannya tetap butuh sentuhan manusia untuk memahami keluhan yang masuk. Nantinya, hasil pantauan ini bisa jadi bahan evaluasi yang lebih hidup dan cepat untuk tiap kantor pemerintahan di Magelang.