Mendengarkan Bisikan Industri: Analisis Big Data Untuk Masa Depan Tenaga Kerja Kota Magelang

Tuesday 2nd of September 2025 12:00:00 AM

Oleh: Muhammad Kaysa Fathun Naja (Universitas Sebelas Maret)


Paradoks di Kota Sejuta Bunga

Di kota yang diapit oleh gema sejarah dan derap langkah militer, Magelang melesat menuju wajah barunya yang modern. Roda ekonominya berputar semakin cepat, tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang terus menanjak setiap tahunnya, sebuah lagu optimisme bagi kemajuan kota. Namun, di balik melodi yang merdu itu, terdengar nada sumbang. Sebuah pertanyaan yang membingungkan para perencana kota dan insan pendidikan terkait mengapa ijazah yang diraih dengan susah payah justru terasa semakin sulit ditukar dengan pekerjaan?


Jawaban atas teka-teki itu mulai tersibak saat penulis melihat data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun 2019-2023. Sebuah ironi terpampang nyata, mereka yang mengenyam pendidikan lebih tinggi, para lulusan SMA/SMK dan universitas, justru menjadi kelompok yang lebih banyak menganggur. Angkanya jauh melampaui mereka yang pendidikannya terhenti di jenjang dasar. Puncaknya terjadi di tahun 2023, di mana menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Magelang tingkat pengangguran di kalangan sarjana mencapai 7,77%. Angka ini bukan sekadar kolom dalam tabel statistik, tapi juga cerita tentang ribuan mimpi yang tertahan dan energi muda yang belum menemukan muaranya.


Sumber: BPS Kota Magelang


Tentu saja, fenomena ini melahirkan serangkaian pertanyaan besar. Mengapa ijazah yang tinggi tak lagi menjadi tiket emas ke dunia kerja di Kota Magelang? Mungkinkah ada sebuah jurang pemisah antara teori di ruang kelas dengan realita di lapangan? Sudahkah kurikulum kita benar-benar seirama dengan detak jantung industri lokal? Untuk membedah masalah ini, mari kita intip 'dapur' ekonomi kota Magelang. Data PDRB 2024 yang diperoleh dari website BPS Kota Magelang menunjukkan ada lima 'pilar' raksasa yang menopangnya, yaitu industri pengolahan (16,49%), konstruksi (15,93%), perdagangan dan reparasi (13,98%), administrasi pemerintahan & pertahanan (10,18%), serta transportasi dan pergudangan (7,97%). Kelimanya adalah mesin utama yang membuat roda ekonomi terus berputar. Tapi, ada satu pertanyaan penting yang sering luput, yaitu terkait apakah mesin-mesin besar ini juga membuka banyak pintu kerja bagi warganya? Inilah pertanyaan krusial yang seringkali tak terjawab oleh deretan angka di laporan statistik.


Sumber: BPS Kota Magelang


Di sinilah penulis menemukan titik butanya. Angka-angka besar dari BPS memang mampu melukiskan kanvas ekonomi kota secara keseluruhan, tetapi gagal menangkap detail-detail kecil yang justru paling penting, denyut nadi pasar kerja sesungguhnya yang selalu berubah. Statistik tradisional memberi tahu kita siapa yang paling produktif, tetapi membisu saat ditanya siapa yang paling banyak membuka lowongan. Untuk mengisi kekosongan inilah, analisis data modern datang menawarkan kacamata baru, yang memungkinkan kita melihat peta peluang kerja dengan lebih baik.


Menambang Denyut Nadi Pasar Kerja Digital

Untuk mendapatkan gambaran pasar kerja yang terkini, penulis sadar bahwa cara-cara lama yang sering digunakan tidak akan cukup. Kita butuh kecepatan. Sadar bahwa data tradisional berjalan lambat, sementara pasar tenaga kerja berlari kencang, sehingga penulis memilih jalan yang lebih modern untuk mengetahui permasalahan yang ada. Penulis 'mengintip' langsung ke pasar digital tempat bertemunya pencari dan penyedia kerja, yaitu JobStreet sebagai salah satu portal lowongan kerja terbesar di Indonesia. Prosesnya sendiri seperti sebuah misi intelijen digital, penulis mengerahkan 'pasukan' kode untuk menyisir, mengumpulkan, dan melaporkan setiap detail lowongan pekerjaan yang ada di Kota Magelang dan sekitarnya.


Pertama, ‘mata-mata’ penulis yang berupa kode Python dijalankan di platform Google Colab untuk menyisir dan mengunduh ribuan data lowongan kerja yang ada di Magelang dan Sekitarnya. Kedua, data mentah yang terkumpul penulis ’bersihkan’ menggunakan Microsoft Excel dan Python. Tahap ini penting untuk memastikan setiap informasi akurat, mulai dari memperbaiki format dan struktur data hingga menghapus data ganda. Terakhir, setiap posisi penulis petakan ke dalam 21 sektor ekonomi sesuai standar Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Dengan sebuah ‘kamus’ kata kunci, seperti "sales executive" bisa kami kelompokkan ke sektor perdagangan, atau "barista" ke sektor akomodasi dan makan minum. Hasilnya adalah sebuah dataset baru yang siap dianalisis untuk melahirkan masa depan ketenagakerjaan yang lebih baik bagi Kota Magelang.


Apa Kata Data?

Mesin Ekonomi vs Mesin Lowongan Kerja

Temuan paling signifikan adalah bahwa sektor penyumbang PDRB terbesar ternyata bukanlah pencipta lapangan kerja terbanyak. Data yang sudah diolah dari website job portal Jobstreet menunjukkan sektor G (Perdagangan & Reparasi) menjadi juara dalam menyerap tenaga kerja, disusul sektor S (Aktivitas Jasa Lainnya) dan sektor I (Akomodasi & Makan Minum). Ini adalah cerminan sejati karakter Magelang sebagai kota yang hidup dari jasa dan pariwisata. Yang menarik, sektor industri pengolahan, sang kontributor PDRB nomor satu (16,49%), justru berada di peringkat ke-10 dalam hal membuka lowongan. Sebaliknya, sektor perdagangan yang menyumbang 13,98% PDRB, malah menjadi lokomotif utama penyerapan tenaga kerja. Artinya, meski industri padat modal itu penting untuk angka pertumbuhan, sektor padat karya seperti toko, kafe, dan bengkel adalah penyelamat sesungguhnya bagi angkatan kerja Magelang.


Sumber: Website Jobstreet


Siapa yang Paling Dicari? Para Pekerja di Garda Depan

Jika analisis sektor adalah peta wilayahnya, maka analisis posisi pekerjaan adalah penunjuk jalan detailnya. Siapa sebenarnya yang paling dibutuhkan perusahaan di Magelang? Jawabannya jelas bukan manajer atau insinyur, melainkan para pekerja di garda terdepan. Posisi seperti kasir, sales, barista, juru masak, dan waiter/waitress menjadi daftar teratas. Temuan ini menguatkan kesimpulan sebelumnya bahwa di dalam sektor perdagangan yang begitu besar, kebutuhan utamanya adalah sales dan kasir. Di dalam sektor akomodasi & makan minum yang sedang naik daun, barista dan juru masak adalah raja. Ini adalah sinyal kuat dari pasar bahwa industri Kota Magelang dan sekitarnya haus akan tenaga kerja yang terampil melayani, berkomunikasi, dan menjual.


Sumber: Website Jobstreet


Menjahit Kembali Benang yang Terputus

Lalu, apa sebetulnya cerita di balik semua angka ini? Tentu, ini bukan sekadar deretan angka yang tidak memiliki makna. Angka-angka ini seolah berbicara, menjadi kompas yang bisa menunjukkan arah perbaikan masa depan ketenagakerjaan Kota Magelang. Temuan ini adalah sebuah ajakan untuk kita semua, baik yang berada di dunia pendidikan maupun di pemerintahan untuk berhenti sejenak dan berpikir. Ada sebuah robekan antara dunia sekolah dan dunia kerja, dan kini saatnya kita mengambil jarum dan benang untuk mulai menjahitnya kembali.


Sebuah Pesan untuk Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi: Mari Buka Jendela dan Lihat Keluar

Panggilan pertama ini tertuju langsung kepada para pendidik di sekolah dan kampus. Sudah saatnya kita tidak hanya mengajar di dalam kelas, tapi juga berani melihat ke luar jendela, melihat langsung di mana panggung pertunjukan yang sesungguhnya. Data telah berbicara lantang bahwa panggung utama di Magelang saat ini adalah perdagangan, pariwisata (F&B), dan jasa. Maka, sudah sepantasnya sorotan utama kurikulum diarahkan ke sana. jurusan yang berhubungan dengan digital marketing, manajemen ritel, tata boga, dan perhotelan harusnya menjadi primadona, bukan lagi sekadar pilihan alternatif.


Dunia usaha hari ini tidak lagi cukup hanya dengan selembar ijazah, mereka butuh bukti nyata. Kurikulum kita harus berani 'kotor tangan', tidak hanya dijejali teori. Bekali calon kasir dengan keterampilan mengoperasikan mesin Point of Sale (POS) dan seni menghadapi keluhan pelanggan. Latih calon sales dengan jurus-jurus negosiasi dan komunikasi yang memikat, bukan sekadar menghafal brosur. Pastikan setiap calon barista tidak hanya paham teori tentang biji kopi, tapi juga punya sertifikat keahlian meracik kopi yang diakui. Pada akhirnya, yang dicari perusahaan bukan sekadar pekerja, tapi pribadi yang utuh dan bisa diandalkan. Kemampuan untuk tersenyum tulus pada pelanggan, bahu-membahu dengan rekan kerja saat restoran sedang ramai, dan punya integritas yang kuat harusnya menjadi fondasi dari setiap pelajaran. Keterampilan-keterampilan inilah yang nantinya membedakan antara sekadar karyawan dan seorang profesional.


Peran Pemerintah Daerah: Menjadi Sutradara dalam Perekonomian Kota Magelang

Tentu, sekolah dan kampus tidak bisa berjuang sendirian di medan ini. Pemerintah daerah harus mengambil peran sebagai sutradara yang memastikan semua aktor di panggung ekonomi ini bermain harmonis. Pemkot, melalui Dinas Ketenagakerjaan, bisa menggunakan metode serupa untuk menciptakan ‘Peta Peluang Kerja’ yang hidup dan terus diperbarui. Peta ini bukan lagi sekadar laporan tahunan yang berdebu di rak, melainkan sebuah kompas digital yang menjadi dasar kuat untuk merancang program pelatihan kerja yang benar-benar dibutuhkan dan bursa kerja yang efektif mempertemukan bakat dengan peluang.


Arahkan dukungan ke tempat yang tepat. Berikan 'karpet merah' berupa kemudahan izin dan insentif bagi usaha-usaha yang terbukti menjadi denyut nadi penyerapan tenaga kerja, seperti toko ritel, kafe, restoran, dan berbagai jasa pariwisata lainnya. Merekalah pahlawan ekonomi lokal yang sesungguhnya. Terakhir, pemerintah harus menjadi jembatan, bukan tembok. Fasilitasi para bos perusahaan dengan kepala sekolah dan rektor agar dapat bertemu dan bertukar pikiran. Dialog langsung di meja yang sama adalah cara terbaik untuk memastikan kurikulum di sekolah tidak pernah tertinggal dari cepatnya laju perubahan di dunia usaha.


Pada akhirnya, paradoks pengangguran terdidik di Kota Magelang bukanlah sebuah takdir yang harus diterima pasrah. Ia adalah sebuah sinyal yang mengingatkan kita bahwa ada benang yang terputus antara ruang kelas dan ruang kerja. Analisis data lowongan kerja secara real-time ini telah membantu kita menemukan di mana letak putusnya benang tersebut. Dengan kekuatan data, kita bisa berhenti meraba-raba dalam gelap. Sekolah tak perlu lagi menebak-nebak, mereka bisa mengarahkan siswanya menuju pelabuhan yang pasti. Pemerintah pun bisa menavigasi kebijakannya dengan peta yang akurat, bukan sekadar asumsi. Kini, tugas kita bersama adalah mengambil jarum dan benang itu, lalu mulai menjahitnya kembali. Memastikan setiap ijazah yang terbit adalah sebuah kunci yang bisa membuka pintu masa depan, demi Kota Magelang yang lebih sejahtera.