Membangun Kota Magelang Dengan Data
Oleh: Rojani, S.ST, M.M (BPS Provinsi Kepulauan bangka Belitung)
Di era informasi, membangun sebuah kota bukan lagi soal intuisi semata. Keputusan tata ruang, prioritas anggaran, program penanggulangan kemiskinan, sampai desain pelatihan vokasi idealnya lahir dari satu sumber yaitu: data. Kota Magelang walau secara geografis kecil namun menyimpan banyak peluang yang bisa dibaca dari angka-angka. Artikel ini mengajak pembaca awam dan pembuat kebijakan publik untuk melihat bagaimana data dapat menjadi alat transformasi: dari “apa yang terjadi” menjadi “apa yang harus dilakukan”.
Mengapa data itu penting? Angka menghilangkan tafsir ganda. Ketika kita tahu berapa banyak lulusan SMK setiap tahun, maka program link-and-match antara sekolah dan industri menjadi kebijakan yang terukur; ketika kita tahu distribusi usia penduduk per kelurahan, maka alokasi layanan kesehatan dan ruang bermain anak bisa ditempatkan pada lokasi yang tepat. Data memaksa keputusan menjadi konkret. Berikut beberapa hal yang perlu perhatian pemerintah Kota Magelang dalam membangun Kota Magelang dengan data:
Modal manusia: mengenal demografi untuk merancang peluang
Salah satu kunci pembangunan adalah memahami komposisi penduduk. Kota Magelang yang mayoritas penduduknya berada dalam usia produktif memiliki jendela kesempatan ekonomi tetapi hanya jika tenaga kerja itu punya keterampilan yang dibutuhkan pasar. Magelang memiliki struktur usia yang menguntungkan: porsi usia produktif relatif besar. Ini artinya fokus kebijakan perlu mengarahkan pada kualitas bukan hanya kuantitas lapangan kerja. Melihat demografi juga membantu merencanakan layanan publik. Misalnya, jika ada kelurahan dengan proporsi anak-anak besar, maka kebutuhan akan ruang kelas, perlengkapan PAUD, dan posyandu harus jadi prioritas. Sebaliknya, kelurahan yang menua cepat harus disiapkan layanan kesehatan lansia dan aksesibilitas publik yang ramah kursi roda. Data usia penduduk membuat alokasi anggaran lebih efisien.
Pasar kerja: dari serapan kuantitas ke kualitas pekerjaan.
Tingkat pengangguran mungkin turun, tetapi siapa yang bekerja dan di sektor apa juga penting. Magelang, sebagai kota jasa dan perdagangan, menyerap banyak tenaga di sektor UMKM, restoran, dan layanan. Ini baik untuk penyerapan tenaga kerja, namun seringkali produktivitas per pekerja rendah. Di sinilah peran data: memetakan jenis usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan merancang program peningkatan produktivitas yang spesifik misalnya pelatihan manajemen usaha kecil untuk pedagang kaki lima atau digital marketing untuk pelaku kuliner. Lebih jauh, data lowongan kerja lokal dan profil lulusan dapat disandingkan untuk membangun program magang dan penempatan kerja. Ini bukan eksperimen teoretis: sistem informasi pasar kerja lokal sederhana bisa mempertemukan pelamar dengan pemberi kerja dan mengurangi mismatch yang selama ini membuat lulusan sulit menemukan pekerjaan yang layak.
IPM dan kualitas hidup: bukan angka kosong
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sering menjadi tolok ukur utama. Nilai IPM memberi gambaran umum tentang kualitas pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Namun yang lebih bernilai adalah memecah IPM ke komponen komponennya dan melihat distribusi antar-kelurahan. Dengan data ini, pemerintah kota bisa menargetkan intervensi pendidikan di wilayah yang nilai pendidikan rendah, atau memperkuat layanan kesehatan di area dengan indikator kesehatan yang buruk. Selain itu, IPM yang tinggi bisa menjadi daya tarik investasi, khususnya untuk sektor jasa bernilai tambah seperti pendidikan tinggi swasta, layanan kesehatan spesialis, dan teknologi informasi. Menjaga kualitas layanan publik agar IPM tidak stagnan atau mengalami disparitas adalah investasi jangka panjang.
Kemiskinan dan kerentanan: memetakan near-poor
Menurunkan angka kemiskinan tetap prioritas, tetapi fokus tak boleh hanya pada garis kemiskinan. Kelompok “near-poor” yang sedikit di atas garis kemiskinan adalah kelompok paling rentan terhadap guncangan ekonomi (kenaikan harga pangan, kehilangan pekerjaan, bencana lokal). Dengan data konsumsi rumah tangga yang lebih sering diperbarui, pemerintah bisa merancang bantuan yang bersifat preventif: subsidi targeted, program simpanan mikro, atau pelatihan ketrampilan bagi kepala keluarga rentan. Data juga memungkinkan evaluasi program sosial: apakah bantuan tunai memperbaiki konsumsi makanan bergizi? Apakah pelatihan keterampilan meningkatkan pendapatan? Tanpa data berkala, program mudah menjadi tebak-tebakan.
Pemetaan spasial: tata ruang sebagai instrumen ekonomi
Keterbatasan lahan menjadi isu klasik bagi kota kecil. Di sinilah data spasial (GIS) berperan: memetakan kepadatan penduduk, titik-titik konsentrasi UMKM, lokasi fasilitas publik, dan koridor transportasi membuat perencanaan ruang lebih preskriptif. Potongan data ini menunjang kebijakan intensifikasi seperti mixed-use development yang menambah fungsi area tanpa memperluas batas administratif. Contohnya: memetakan arus pejalan kaki dan komuter dapat membantu menentukan lokasi investasi transportasi mikro (angkutan kota kecil), ruang publik, dan pusat ekonomi malam (night-time economy) yang aman. Peta GIS juga mempermudah identifikasi kawasan kumuh untuk program revitalisasi berbasis komunitas.
Sektor unggulan: mengubah komparatif menjadi kompetitif
Magelang punya keunggulan relatif sebagai simpul layanan dan gerbang wisata lokal. Data PDRB menurut lapangan usaha membantu melihat sektor mana yang paling besar kontribusinya dan mana yang tumbuh paling cepat. Dari situ, kota bisa menentukan sektor mana untuk diberi insentif apakah pariwisata berbasis komunitas, ekonomi kreatif, atau jasa pendidikan serta bagaimana menautkan rantai nilai lokal ke pasar regional. Data pariwisata sederhana asal wisatawan, durasi tinggal, pola pengeluaran sangat berharga untuk mendesain event dan paket wisata yang memperpanjang lama tinggal, sehingga meningkatkan konsumsi lokal.
Praktik mudah: membangun ekosistem data kota
Membangun kapasitas data tidak harus mahal. Beberapa langkah praktis yang bisa segera dijalankan:
· Buat dashboard kota publik yang menampilkan indikator kunci (IPM, TPT, kemiskinan, harga pangan) yang diperbarui triwulanan.
· Bangun sistem informasi pasar kerja lokal sederhana yang menghubungkan sekolah, perguruan tinggi, dan pengusaha.
· Fasilitasi platform digital UMKM untuk pembukuan dasar dan akses ke pasar online.
· Kembangkan pemetaan partisipatif: warga melaporkan kondisi infrastruktur kecil (jalan rusak, lampu mati) melalui aplikasi agar data terkini membantu perbaikan cepat.
Tantangan: kualitas data dan kolaborasi antar pihak
Data besar tanpa kualitas adalah “kebisingan”. Penting meningkatkan kualitas data administrasi misalnya, pembukuan UMKM yang rapi, pembaruan data penduduk yang lebih sering, dan survei konsumsi rumah tangga periodik. Selain itu, membangun budaya data memerlukan kolaborasi: pemerintah, perguruan tinggi, komunitas, dan sektor swasta harus terlibat dalam pengumpulan, analisis, dan validasi data.
Dari angka ke aksi
Membangun Kota Magelang dengan data bukan sekadar jargon. Data memberi arah, memperbaiki efisiensi, dan memungkinkan evaluasi nyata. Magelang memiliki modal: tenaga kerja produktif, sektor jasa yang kuat, dan komunitas yang hidup. Tugas para pemangku kepentingan sekarang adalah mengubah angka-angka itu menjadi kebijakan yang konkret melalui dashboard yang transparan, program pelatihan berbasis kebutuhan lapangan, dan penataan ruang yang cerdas. Bila data dipakai terus-menerus dan reflektif, Magelang bukan hanya akan menjadi kota yang nyaman, tetapi juga kota yang tangguh, adaptif, dan adil bagi seluruh warganya.