Kota Magelang: Potensi Pariwisata Di Simpul Persinggahan

Monday 8th of September 2025 12:00:00 AM

Oleh: Beta Septi Iryani (BPS RI)


Kota Magelang adalah kota yang mungil—hanya seluas 18,12 km²—namun posisinya sangat strategis. Ibarat simpul kecil di jaring raksasa, kota ini menjadi titik persinggahan penting dalam jalur wisata populer Jawa Tengah dan DIY. Ribuan wisatawan dari berbagai daerah melintas setiap harinya, baik dalam perjalanan menuju Borobudur, Yogyakarta, Dieng, maupun destinasi lain. Pertanyaannya: apakah arus wisatawan itu hanya sekadar lewat, atau bisa diubah menjadi sumber energi baru bagi pertumbuhan ekonomi Kota Magelang? 



Keunggulan geografis yang dimiliki Kota Magelang menjadikan kota ini istimewa. Terletak di persilangan jalur transportasi utama Semarang–Magelang–Yogyakarta serta Purworejo–Magelang–Temanggung, kota ini tak ubahnya sebuah “pintu gerbang” wisata. Jika ditopang dengan kebijakan yang tepat, arus wisatawan yang melintas dan singgah bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah Kota pun tampaknya sadar betul akan potensi ini. Tidak heran jika dalam Rencana Program Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045 tercantum visi “Magelang Kota Perdagangan dan Jasa yang Berdaya Saing, Berkarakter, dan Berkelanjutan”. Bahkan pada arah kebijakan RPJPD fase II, III, dan IV menitikberatkan pada sektor pariwisata yang diharapkan menjadi leading sector pertumbuhan ekonomi daerah. 



Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Magelang menunjukkan bahwa sejak tahun 2022, perekonomian Kota Magelang relatif stabil. Walaupun sempat mengalami perlambatan pada tahun 2023, laju pertumbuhan tetap konsisten berada di atas 5 persen per tahun. Capaian ini memberi sinyal positif bahwa daya tahan ekonomi kota relatif kuat, bahkan dalam kondisi ketidakpastian global dan nasional.

 


image.png 46.38 KB 

 

Yang lebih menarik, sektor penyediaan akomodasi serta makan minum—yang merupakan bagian penting dari industri pariwisata—menjadi motor utama pertumbuhan. Pada tahun 2023 dan 2024, sektor ini mencatat pertumbuhan tertinggi dibanding sektor lain. Fakta ini mengonfirmasi bahwa pariwisata bukan hanya pelengkap, tetapi benar-benar menjadi salah satu pilar ekonomi Kota Magelang. Dengan kata lain, arah pembangunan Kota Magelang menuju kota jasa bukan sekadar wacana, tetapi sudah tercermin dalam data.



Salah satu indikator penting dalam statistik pariwisata adalah jumlah kunjungan wisatawan nusantara. Angka ini menjadi krusial karena wisatawan nusantara adalah pasar utama bagi pariwisata lokal. BPS mencatat bahwa selama semester I Tahun 2025, terdapat lebih dari 514 ribu kunjungan wisatawan nusantara ke Kota Magelang. Sepuluh besar daerah asal wisatawan nusantara tersebut adalah Kabupaten Magelang, Kabupaten Sleman, Kabupaten Temanggung, Kota Semarang, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonosobo, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Kebumen. Dari data ini terlihat jelas bahwa sebagian besar wisatawan berasal dari daerah sekitar atau berdekatan dengan Kota Magelang. Artinya, pola perjalanan wisata ke Kota Magelang masih didominasi oleh short trip atau perjalanan jarak dekat. Hal ini bisa dimaklumi karena Kota Magelang posisinya berada di tengah jalur wisata yang ramai, sehingga mudah diakses dari banyak kabupaten/kota sekitar. Pola kunjungan seperti ini juga memberi sinyal bahwa banyak wisatawan yang melakukan one day trip atau pulang–pergi tanpa perlu menginap do akomodasi local.



Kecenderungan tersebut sejalan dengan data Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel di Kota Magelang yang masih relatif rendah. Pada April 2025, BPS mencatat TPK gabungan hanya sebesar 33, 96 persen, yang terdiri dari TPK hotel bintang sebesar 38,96 persen dan TPK hotel nonbintang hanya sebesar 28,06 Persen. Rendahnya TPK ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa Kota Magelang sepi pengunjung, Besar kemungkinan, banyak wisatawan memilih langsung kembali ke daerah asalnya di hari yang sama. Dari tahun sebelumnya terlihat bahwa TPK akan mengalami lonjakan signifikan saat libur panjang (Juni–Juli) dan akhir tahun (Desember), ketika wisatawan dari luar daerah datang dan membutuhkan akomodasi.


Grafik 2. TPK Hotel di Kota Magelang, Januari 2024-April 2025 (Persen)


 

Kota Magelang memang tidak memiliki destinasi sebesar Candi Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang. Sebagai kota kecil, jumlah destinasi wisata juga tidak terlalu banyak.  Beberapa objek wisata yang cukup terkenal adalah Museum BPK RI, Museum Taruna Abdul Djalil, Taman Kyai Langgeng, Alun-Alun Magelang hingga wisata kuliner khas yang beragam. Secara geografis, sebenarnya Kota Magelang menarik karena dikelilingi gunung dengan pepohonan hijau seperti Sumbing, Sindoro, Prau, Ungaran, Telomoyo, Andong, Merbabu, Merapi, Menoreh, dan Gunung Tidar yang ada di tengah kota. Namun potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan sebagai satu rangkaian pengalaman wisata yang mampu menahan wisatawan untuk bermalam. Jika pola kunjungan wisatawan yang mayoritas pulang–pergi dapat diarahkan menjadi kunjungan yang lebih lama, maka dampaknya terhadap perekonomian lokal akan semakin besar. Wisatawan yang menginap cenderung membelanjakan lebih banyak, baik untuk akomodasi, makan minum, transportasi lokal, maupun belanja oleh-oleh. Artinya, strategi pengembangan pariwisata Kota Magelang perlu menyeimbangkan layanan bagi wisatawan harian sekaligus mendorong terciptanya lebih banyak alasan untuk menginap.



Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk pengembangan pariwisata di Kota Magelang. Pertama, memperkuat daya tarik wisata berbasis sejarah, budaya, dan religi. Pada tahun 2024, Kota Magelang sudah memiliki 6 museum, yaitu Museum Dr. Oei Hong Djien (OHD), Museum Diponegoro, Museum BPK RI, Museum Sudirman, Museum Abdul Djalil, dan Museum Bumiputera. Keenam museum ini merupakan sumber edukasi terkait seni, warisan budaya, dan sejarah. Selain itu, di Kota Magelang terdapat Gunung Tidar yang dapat dikembangkan lebih jauh sebagai destinasi religi dengan fasilitas pendukung yang memadai serta integrasi promosi dengan wisata Borobudur. Kedua, mengembangkan wisata perkotaan (urban tourism) dengan menonjolkan identitas Kota Magelang sebagai “kota militer” sekaligus “kota sejarah”. Museum dan bangunan bersejarah bisa dikemas dalam paket city tour singkat, sehingga wisatawan memiliki alasan tambahan untuk berhenti lebih lama.



Ketiga, mendorong tumbuhnya event dan festival berskala regional maupun nasional. Kota Magelang bisa memposisikan diri sebagai tuan rumah kegiatan seni, budaya, olahraga, maupun ekonomi kreatif yang mampu menarik kerumunan. Event semacam ini terbukti efektif meningkatkan lama tinggal wisatawan sekaligus mendongkrak TPK hotel. Keempat, memperkuat ekosistem kuliner dan belanja. Wisatawan yang singgah umumnya mencari pengalaman kuliner lokal dan oleh-oleh khas. Selain getuk, Kota Magelang memiliki makanan khas seperti sop snerek, mangut kepala beong, sego godhog, kupat tahu, dan lain-lain. Pemerintah Kota Magelang bisa bekerja sama dengan UMKM dalam menawarkan berbagai macam kuliner khas kota ini. Jika sektor ini ditata dengan baik, Kota Magelang dapat memperoleh manfaat ekonomi meski wisatawan hanya tinggal singkat.



Selain itu, peran sektor jasa lainnya juga sangat penting. Keberadaan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perdagangan modern memberi nilai tambah bagi Kota Magelang sebagai kota jasa. Wisata medis berpotensi dikembangkan mengingat terdapat rumah sakit dengan layanan spesialis, contohnya Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. Dr. Soeroyo, yang bisa menarik pasien dari daerah sekitarnya. Sementara sektor pendidikan, dengan keberadaan akademi militer maupun perguruan tinggi, bisa mendorong munculnya pasar wisata keluarga dan MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition).



Dengan demikian, meski skala wilayahnya kecil, Kota Magelang memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan perannya sebagai simpul wisata dan kota jasa. Tantangannya adalah bagaimana mengubah status “kota persinggahan” menjadi “kota tujuan”, atau setidaknya memastikan setiap wisatawan yang lewat dan singgah mampu memberikan kontribusi nyata bagi ekonomi lokal. Sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan hal ini. Jika arah pembangunan terus konsisten, bukan tidak mungkin dalam satu hingga dua dekade mendatang, Kota Magelang akan dikenal bukan hanya sebagai kota kecil di jalur menuju Borobudur, tetapi sebagai kota jasa yang mandiri, dinamis, dan berdaya saing. Dengan kata lain, Magelang bisa menjadi contoh bagaimana kota kecil mampu memainkan peran besar dalam ekosistem pariwisata dan jasa di tingkat regional maupun nasional.