Ketika Kota Kehabisan Ruang, Statistik Bicara Untuk Magelang

Tuesday 2nd of September 2025 12:00:00 AM

Oleh: Lintang Pertiwi (Politeknik Statistika STIS)


Magelang merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Magelang, menjadikannya seakan menjadi ‘enklave’ yang terpisah dari wilayah induknya. Secara administratif, Kota Magelang terdiri atas tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Magelang Utara, Kecamatan Magelang Selatan, dan Kecamatan Magelang Tengah. Berdasarkan salah satu publikasi BPS Kota Magelang, yakni Kota Magelang Dalam Angka 2024, luas wilayah Kota Magelang hanya sebesar 18,54 kilometer persegi. Angka tersebut menunjukkan bahwa Kota Magelang merupakan salah satu kota dengan luas wilayah yang terbatas di Indonesia. Dilansir dari artikel Goodstats.id, Kota Magelang menduduki posisi kota terkecil kedua di tanah air. 


Sumber: Data BPS 2024, diolah.


Meskipun hanya mencakup area yang sangat sempit apabila dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Magelang yang mengelilinginya, kota ini tetap memainkan peran yang vital. Kota Magelang berfungsi sebagai pusat pendidikan, layanan publik, dan perdagangan yang menjadi daya tarik, tidak hanya bagi penduduknya, tetapi juga bagi penduduk dari daerah sekitarnya. Aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat berlangsung begitu dinamis, mulai dari kegiatan pasar tradisional, pusat perbelanjaan modern, hingga institusi pendidikan yang menampung para pelajar.


Sumber: Data BPS 2022–2024, diolah.


Kepadatan penduduk Kota Magelang apabila dibandingkan dengan kepadatan penduduk Kabupaten Magelang, terlihat bahwa Kota Magelang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi. Perbedaan tersebut sebetulnya cukup wajar mengingat luas wilayah Kota Magelang yang hanya 18,54 kilometer persegi, jauh lebih kecil dibanding Kabupaten Magelang yang memiliki luas wilayah ribuan kilometer persegi. Akan tetapi, justru karena keterbatasan lahan itulah, tekanan kepadatan di Kota Magelang terasa lebih nyata. Kota yang kecil ini harus menampung aktivitas ribuan orang dalam ruang yang sangat terbatas. Data perbandingan tersebut menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh Kota Magelang berbeda dengan kabupaten di sekitarnya. Jika Kabupaten Magelang masih memiliki cadangan ruang untuk ekspansi, Kota Magelang harus lebih cermat dalam mengelola setiap jengkal dari ruang yang dimilikinya. 



Sumber: Data BPS 2019–2023, diolah.


Kepadatan aktivitas yang terjadi di Kota Magelang tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan jumlah penduduk yang juga terus terjadi. Jumlah penduduk Kota Magelang pada tahun 2019 hingga 2023 tercatat relatif meningkat. Walaupun kenaikan yang terjadi relatif kecil, kondisi tersebut menunjukkan bahwa dengan luas wilayah yang hanya 18,54 kilometer persegi, rata-rata kepadatan penduduk Kota Magelang mencapai lebih dari 6.500 jiwa per kilometer persegi. Angka tersebut menempatkan Kota Magelang sejajar dengan kota-kota padat lain di Indonesia, walaupun luas wilayah Kota Magelang jauh lebih kecil. Dilansir dari data BPS (2023), jika dibandingkan, Kota Yogyakarta memiliki kepadatan sekitar 13.000 jiwa per kilometer persegi, sedangkan Kota Semarang hanya sekitar 4.000 jiwa per kilometer persegi. Hal tersebut berarti bahwa Kota Magelang berada pada posisi tengah-tengah, dengan karakteristik unik, yakni memiliki wilayah yang sempit, tetapi aktivitas penduduk yang padat. Kepadatan inilah yang kemudian mendorong meningkatnya tekanan terhadap ruang kota.


Penduduk yang terus bertambah akan menyebabkan kebutuhan ruang juga semakin mendesak. Publikasi dari BPS Kota Magelang mencatat bahwa jumlah rumah tangga mengalami peningkatan sekitar satu hingga dua persen per tahun. Setiap rumah tangga tentu memerlukan tempat tinggal, sementara ketersediaan lahan permukiman semakin terbatas. Konsekuensinya, harga tanah cenderung naik. Situasi ini membuat banyak kalangan muda kesulitan membeli rumah di kota sendiri. Di sisi lain, keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pun semakin terdesak. Menurut standar dari Kementerian Pekerjaan Umum, idealnya suatu kota memiliki minimal 30% dari total wilayahnya berupa RTH. Dengan luas 18,54 kilometer persegi, artinya Kota Magelang seharusnya memiliki sekitar 5,5 kilometer persegi area hijau. Namun, kenyataannya jauh di bawah angka tersebut. Dilansir dari Radar Magelang (2025), RTH Kota Magelang masih berada pada nilai 16%. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Magelang, MS Kurniawan, menyebutkan bahwa faktor terbesar kendala pemenuhan RTH adalah keterbatasan lahan. Banyak lahan hijau yang telah berubah fungsinya menjadi kawasan perumahan atau perdagangan. 


Keterbatasan lahan juga berdampak pada tata transportasi. Jalan raya yang tersedia harus menampung kendaraan dari penduduk lokal maupun pendatang. Dalam jam sibuk, beberapa titik di Kota Magelang sering mengalami kemacetan, sebuah kondisi yang ironis untuk kota sekecil ini. Semua data ini menunjukkan bahwa Magelang menghadapi tantangan ganda, yaitu ruang yang sempit dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Ruang di Kota Magelang terus dituntut untuk menampung berbagai kebutuhan masyarakatnya. Realitas yang dihadapi tersebut bukan hanya perihal ruang fisik, melainkan juga persoalan sosial dan ekonomi. Pertanyaan yang patut diajukan adalah bagaimana data statistik dapat memberikan arahan bagi Kota Magelang agar tetap tumbuh tanpa kehilangan ruang hidupnya?


Wilayah Kota Magelang memang tidak akan pernah bertambah luas. Kota ini tetaplah memiliki wilayah dengan luas 18,54 kilometer persegi, dikelilingi kabupaten yang lebih lapang. Namun, keterbatasan bukan berarti sebuah batasan untuk berkembang. Dengan keterbatasan ruang yang dimilikinya, Kota Magelang tidak bisa hanya mengandalkan intuisi saja dalam membangun masa depan. Data menjadi salah satu fondasi penting untuk merancang kebijakan, agar setiap jengkal lahan dapat memberikan manfaat bagi warganya. Karena itulah, membangun Kota Magelang harus dimulai dengan membaca dan memahami data.


Data statistik bukan hanya sekadar catatan angka-angka, melainkan juga suatu cerminan dari kondisi yang ada. Data penggunaan lahan dapat menjadi dasar dalam menata zonasi ruang kota. Statistik kependudukan dapat membantu merancang permukiman vertikal seperti rumah susun sehingga kebutuhan hunian tidak harus mengorbankan ruang terbuka hijau. Data transportasi dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi titik rawan kemacetan dan menyusun sistem angkutan umum yang lebih efisien. Selain itu, data perdagangan juga dapat menunjukkan konsentrasi aktivitas ekonomi sehingga fasilitas publik dapat dibangun lebih merata. Dalam era digital ini, potensi big data juga dapat dimanfaatkan. Informasi pergerakan penduduk dari data telekomunikasi atau aplikasi transportasi misalnya, dapat membantu pemerintah memahami pola mobilitas masyarakat. Dengan data tersebut, penataan transportasi dapat lebih responsif dan pembangunan tidak hanya berfokus pada pusat kota, tetapi juga pada wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya.


Semakin ditelisik, semakin jelas bahwa data tidak hanya merekam hal yang sudah terjadi, tetapi juga memberi petunjuk arah kebijakan. Dari data mengenai alokasi penggunaan lahan, kita belajar bahwa ruang kota harus diatur ulang agar lebih seimbang. Dari data kependudukan, kita memahami kebutuhan hunian yang kian mendesak. Dari data transportasi, kita melihat pola pergerakan yang dapat dipandu menuju sistem mobilitas lebih efisien. Selain itu, dari data perdagangan, kita dapat menemukan titik-titik ekonomi yang dapat dikembangkan agar beban kota tidak terpusat hanya pada beberapa tempat saja. Jika semua informasi ini dipahami, maka kita dapat memiliki peta jalan untuk mencari ruang baru di tengah keterbatasan. Magelang mungkin kecil, tetapi dengan membaca data, kota ini bisa melompat lebih jauh, khususnya dalam membangun hunian yang ramah, menghadirkan ruang hijau sesuai standar yang baik, hingga merancang sistem transportasi dan perdagangan yang lebih adil.


Sumber: Owen Sebastian & Sidhi Wiguna Teh (2021), Socio-Ecology Housing: Kampung Vertikal sebagai Rumah Susun di Permukiman Kumuh Muara Baru.


Berdasarkan data jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, lahirlah suatu solusi, yakni hunian vertikal. Dilansir dari penelitian Owen Sebastian dan Sidhi Wiguna Teh (2021) mengenai hunian di kawasan padat Muara Baru, Jakarta Utara, konsep hunian vertikal terbukti dapat menjadi solusi keterbatasan ruang di perkotaan. Dengan mengintegrasikan rumah susun, ruang hijau hingga aktivitas ekonomi warga, model hunian vertikal mampu meningkatkan kualitas hidup sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan. Konsep tersebut juga relevan diterapkan di Kota Magelang yang memiliki keterbatasan lahan yang serupa dengan padatnya aktivitas di dalamnya.


Sumber: Google Maps, foto oleh Heri Pure (Maret 2022), lokasi Taman Badaan, Kota Magelang.


Dari data penggunaan lahan, dapat tercetus inovasi ruang hijau mikro di setiap sela-sela kota dan sisa ruang. Dilansir dari artikel Pocket Parks Kota Padat: Ruang Terbuka Mikro 2025, inovasi ruang hijau mikro melalui pocket park dapat menjadi solusi keterbatasan lahan di perkotaan. Pocket park memanfaatkan lahan sisa yang mampu menghadirkan ruang hijau baru, meningkatkan kualitas lingkungan, sekaligus menyediakan tempat interaksi warga. Konsep ini relevan diterapkan di Kota Magelang yang menghadapi keterbatasan ruang terbuka hijau.


Masalah mengenai kepadatan transportasi dapat diatasi dengan perancangan sistem mobilitas yang lebih manusiawi. Sistem mobilitas yang lebih manusiawi relevan diterapkan di Kota Magelang yang wilayahnya kecil, tetapi memiliki aktivitas mobilitas yang padat. Dengan ruang jalan yang semakin terbatas, prioritas bukan lagi untuk menambah jalan bagi kendaraan, melainkan menghadirkan trotoar yang nyaman, jalur sepeda yang aman, serta transportasi umum kecil, seperti bus kota yang terjangkau. Dengan begitu, warga Magelang tetap bisa bergerak leluasa dan sehat meski ruang kota terbatas.


Adapun kawasan perdagangan yang padat aktivitas dapat diatasi dengan membangun pusat-pusat ekonomi baru yang lebih merata. Aktivitas ekonomi Kota Magelang saat ini masih terpusat di kawasan inti kota, seperti sekitar alun-alun dan pasar, seperti Pasar Rejowinangun. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah-wilayah tertentu semakin padat, baik oleh kendaraan maupun manusia, sementara wilayah lain belum berkembang secara optimal. Untuk itu, pembangunan pusat-pusat ekonomi baru di berbagai titik kota menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Misalnya dengan menghadirkan pasar rakyat di kecamatan lain, sentra UMKM di wilayah pinggiran, atau kawasan wisata kuliner tematik. Dengan begitu, aktivitas ekonomi dapat lebih merata, beban pusat kota berkurang, dan kesempatan usaha bagi warga di seluruh wilayah Kota Magelang semakin terbuka.


Ketika kota kehabisan ruang, statistik yang berbicara, memberi peringatan, memberi arahan, dan pada akhirnya memberi harapan. Harapan bahwa walaupun Kota Magelang adalah kota yang kecil, tetapi Kota Magelang tetap mampu menjadi kota yang tetap tumbuh, aman dan nyaman untuk dihuni, serta sejahtera bagi warganya.