[Diramu oleh Diskominsta Kota Magelang]
Kemiskinan merupakan kondisi di mana individu atau kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Standar kemiskinan sering diukur menggunakan indikator ekonomi, seperti pendapatan di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan nasional atau internasional. Bank Dunia, misalnya, menggunakan tolok ukur $1,90 per hari untuk menentukan garis kemiskinan global. Namun, kemiskinan juga mencakup dimensi sosial dan psikologis, termasuk terbatasnya akses terhadap kesempatan dan layanan publik. Orang yang miskin sering kali merasa terpinggirkan dari masyarakat, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga dalam hal partisipasi sosial. Kemiskinan secara umum memerlukan pendekatan multidimensi dalam penanganannya, meliputi ekonomi, sosial, dan lingkungan (Todaro & Smith, 2009).
Di Indonesia, pemerintah telah berupaya mengurangi tingkat kemiskinan melalui berbagai program, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial lainnya. Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta memberikan perlindungan ekonomi. Selain itu, pemerintah juga mendorong inisiatif pemberdayaan ekonomi seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi pelaku usaha kecil. Meskipun program-program tersebut berhasil menurunkan angka kemiskinan, ketidakmerataan manfaatnya masih menjadi tantangan, terutama di wilayah pedesaan dan daerah terpencil. Pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal dan peningkatan akses terhadap pasar merupakan langkah penting dalam mengatasi masalah tersebut (Suryahadi et al., 2012). Pendekatan pembangunan yang inklusif diperlukan agar manfaat kebijakan bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Namun, kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi, tetapi juga oleh faktor struktural dan sosial seperti diskriminasi gender. Perempuan sering kali lebih rentan terhadap kemiskinan karena keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak. Selain itu, perempuan kepala rumah tangga lebih rentan hidup di bawah garis kemiskinan karena terbatasnya dukungan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan menjadi kunci dalam pengentasan kemiskinan, terutama melalui program-program pendidikan dan pelatihan keterampilan. Dengan meningkatnya akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan, keluarga mereka memiliki peluang lebih besar untuk keluar dari siklus kemiskinan (Kabeer, 1999). Program-program ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga mengurangi ketidaksetaraan gender yang memicu kemiskinan.